Naskah Sang Kembar Emas

Azmah Musa

1/1/20259 min baca

Kala jagad raya baru diciptakan, semesta terbagi menjadi tiga alam yang saling bertaut, masing-masing memiliki perannya dalam menjaga harmoni kehidupan. Di puncak tertinggi terdapat Bottilangi’, kerajaan langit yang memancarkan cahaya abadi. Tempat ini dipimpin oleh To-Palanroe, raja agung para dewa, yang bertahta di singgasana surgawi dikelilingi oleh cahaya bintang dan keagungan ilahi.

Di bawah Bottilangi’ terbentang Alekawa, Dunia Tengah yang melintang luas, gunung laut sungai bertaut-taut, yang kelak akan menjadi rumah bagi manusia. Namun, Alekawa masih sepi, gersang, dan hampa, menanti kehadiran kehidupan untuk memberinya makna. Lebih jauh ke bawah, terdapat Toddang Tojang, Dunia Bawah yang misterius. Alam ini adalah kerajaan laut, dipenuhi istana karang yang megah dan keheningan yang menyimpan rahasia mendalam. Di sinilah Guru Ri Selleng memerintah dengan kebijaksanaan.

Pada suatu pagi, To-Palanroe terbangun dan mendapati Bottilangi’ sunyi tanpa tanda kehidupan di bawahnya. Pikirannya terganggu oleh ketandusan Alekawa, tempat yang seharusnya menjadi pusat kehidupan dan penyembahan. Dengan suara yang menggema, ia memanggil pelayan setianya—Rukke Lengpoba, Sangiapaju, dan Ruma Makkompo—untuk mencari penjelasan. Mereka mengonfirmasi bahwa Alekawa masih kosong, tanpa penghuni yang dapat menghidupkannya.

To-Palanroe kemudian memanggil keluarga dan kerabatnya untuk bermusyawarah. Di bawah jembatan pelangi tujuh warna yang melengkung menghubungkan langit dan bumi, seluruh keluarga ilahi berkumpul, termasuk Guru Ri Selleng dan istrinya dari Toddang Tojang. Dalam pertemuan yang khidmat itu, mereka bersepakat untuk mengutus keturunan mereka ke Alekawa, menjadikan mereka “tunas” yang akan menanamkan kehidupan, keteraturan, dan penyembahan di bumi.

Dengan suara yang tegas namun penuh kasih, To-Palanroe membuat keputusan. Anak sulungnya, Batara Guru, akan turun ke Dunia Tengah untuk membuka jalan bagi kehidupan manusia. Dengan misi suci ini, Batara Guru akan menjadi pelopor dalam menciptakan keseimbangan kosmik dan membuka lembaran baru bagi umat manusia.

Batara Guru, putra sulung To-Palanroe, memikul tugas berat sebagai penghubung antara langit dan bumi. Dengan penuh kebesaran hati, ia turun ke Alekawa untuk menanamkan kehidupan. Pernikahannya dengan We Nyili’ Timo, sepupunya dari Toddang Tojang, menjadi lambang penyatuan garis keturunan surgawi dan dunia bawah. Hubungan mereka mempererat harmoni antara tiga alam.

Tak jauh berbeda, putra Batara Guru, yaitu Batara Lattu, juga melanjutkan jejak sang ayah. Ia menikahi I Datu Sengeng, seorang putri anggun dan bijaksana dari Toddang Tojang. Namun, meski cinta mereka bersemi, kebahagiaan mereka terasa hampa. Tujuh tahun berlalu sejak pernikahan mereka, tetapi mereka belum jua dikaruniai seorang anak. Hari-hari mereka diwarnai doa dan harapan yang belum terkabul, sementara musim terus berganti.

Dalam keputusasaan, Batara Lattu berunding dengan istrinya. Mereka memutuskan untuk naik ke Bottilangi’, menghadap Raja Patotoe. Dengan membawa hati penuh pengharapan, mereka ingin memohon berkah agar keturunan mereka dapat lahir dan memuliakan Alekawa.

Melintasi jembatan pelangi tujuh warna, Batara Lattu dan I Datu Sengeng akhirnya tiba di gerbang surga Bottilangi’. Dengan penuh hormat, mereka bersujud di hadapan Raja Patotoe dan ratunya. “Wahai raja agung langit,” ujar Batara Lattu dengan nada yang lembut namun penuh harap, “kami datang dengan segala kerendahan hati. Tujuh tahun pernikahan kami berlalu, tetapi kami belum diberi anugerah keturunan. Berkatilah kami, wahai Raja, agar garis keturunan kami dapat membawa kehidupan dan penyembahan ke Alekawa.”

Raja Patotoe termenung sejenak, merenungi permohonan ini. Dengan suara dalam yang bergema, ia berkata, “Keinginanmu memang pantas, tetapi ketahuilah, anugerah ini datang dengan ramalan kiamat. Anak-anak yang kau idamkan akan membawa sukacita sekaligus penderitaan. Jika kau diberkati dengan anak kembar, mereka akan terikat oleh ikatan yang begitu kuat sehingga dapat mengguncang harmoni Alekawa. Kau harus memilih—apakah kau siap menerima risiko ini?”

Batara Lattu dan I Datu Sengeng saling berpandangan. Hati mereka bergejolak antara harapan dan ketakutan. Ramalan itu bagai awan gelap yang menggantung di atas doa mereka. Namun, cinta mereka pada kehidupan membuat keputusan itu semakin sulit untuk diambil.

Dengan hati yang dipenuhi kerinduan, Batara Lattu dan I Datu Sengeng memutuskan untuk menerima berkah Raja Patotoe. Mereka kembali ke Alekawa dengan doa dan harapan, percaya bahwa kehidupan yang akan mereka bawa ke dunia akan membawa keseimbangan yang baru.

Waktu pun berlalu, dan berita tentang kehamilan I Datu Sengeng menggema hingga ke langit. Pelangi melingkupi langit, dan petir membelah cakrawala, menandakan kemurahan ilahi. Para dewa Alekawa, yang dikenal sebagai To Ugi, nenek moyang orang Bugis, bersukacita menyambut kelahiran keturunan ilahi yang akan membawa perubahan besar.

Sembilan bulan berlalu. Pada hari yang penuh berkah, langit menjadi gelap, dan kilat menerangi bumi. Lahirlah Sawerigading, anak kembar pertama, yang ditemani sinar keemasan. Ia membawa aura kekuatan dan keberanian, seorang pejuang yang ditakdirkan untuk menaklukkan tantangan besar. Tak lama setelah itu, lahirlah I Tenri Abeng, saudara kembarnya, dengan ketenangan dan keanggunan yang memancar. Ia hadir sebagai lambang kebijaksanaan dan harmoni.

Seluruh kerajaan bersorak gembira menyambut kelahiran mereka. Namun, bayang-bayang ramalan kiamat terus membayangi. Batara Lattu dan I Datu Sengeng, meskipun hati mereka dipenuhi cinta, tahu bahwa tugas berat menanti mereka untuk menjaga keseimbangan dan mencegah bencana yang diramalkan.

Sawerigading, anak sulung yang ditakdirkan sebagai dewa keagungan, justru terlahir yang jauh dari kedamaian. Ketika I Datu Sengeng mulai merasakan tanda-tanda persalinan, langit berubah mendung menjadi kegelapan, dan keheningan yang menakutkan menyelimuti Alekawa. Mendadak, guntur menggelegar, dan kilat memecah langit. Tanah bergetar hebat, dan kekacauan yang tak dapat dijelaskan melanda rakyat. Seakan-akan kekuatan gelap merasuki mereka—penduduk desa saling menyerang, bertarung, dan membunuh dalam kegilaan. Bencana alam memperburuk keadaan; badai dahsyat menghancurkan hutan, sungai meluap menjadi banjir yang dahsyat, dan gelombang raksasa menenggelamkan perahu, meninggalkan kehancuran di mana-mana.

Di dalam istana, I Datu Sengeng bergulat dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Persalinannya terasa panjang dan berat, seolah-olah Sawerigading menolak meninggalkan kenyamanan perlindungan rahim ibunya. Jeritan kesakitannya menggema di seluruh aula istana, memperbesar ketakutan dan keputusasaan yang mencekam kerajaan. Kondisinya semakin memburuk, membuat para tetua takut akan hidupnya.

Ketika kekacauan mencapai puncaknya, mereka yang dirasuki kekuatan gelap tiba-tiba roboh, tidak bernyawa. Petir menyambar tanah, meluluhlantakkan hutan, dan banjir menyapu desa-desa. Hanya setelah puncak kehancuran ini, Sawerigading akhirnya lahir ke dunia. Tangisan pertamanya memecah udara, dan seketika, kerusuhan itu surut. Langit kembali cerah, dan angin pun tenang. Sawerigading, bercahaya dengan sinar keemasan, adalah seorang anak dewa dengan kekuatan yang luar biasa.

Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Ketika kerajaan masih dirundung duka akibat kehancuran, persalinan I Datu Sengeng berlanjut. Kehadiran saudari kembar Sawerigading, I Tenri Abeng, membawa keseimbangan kembali ke Alekawa. Ketika ia lahir, dunianya diselimuti kedamaian, cahaya, dan pembaruan. Waktu seolah mundur, menghapus jejak kehancuran.

Kegembiraan atas kelahiran si kembar dibayangi oleh ramalan kiamat yang mengintai. Sejak saat Sawerigading dan I Tenri Abeng hadir ke dunia, orang tua mereka, Batara Lattu dan I Datu Sengeng, tahu bahwa keputusan sulit menanti. Ikatan di antara si kembar sangat dalam, melampaui kata-kata, tetapi ikatan inilah yang menjadi akar dari ramalan kehancuran, jika cinta mereka melampaui batas hubungan keluarga.

Batara Lattu dan I Datu Sengeng mengumpulkan dewan penasehat dan tetua untuk membahas nasib anak-anak mereka. Ruangan dipenuhi keheningan berat ketika sang raja dan ratu berbicara tentang ramalan itu, cinta mereka pada anak-anak terlihat jelas dalam setiap kata. Batara Lattu menyatakan “Untuk melindungi harmoni Alekawa, kita harus memisahkan mereka”. Keputusan itu diterima dengan persetujuan yang penuh duka.

Dewan memperdebatkan cara terbaik untuk memisahkan si kembar. Beberapa berpendapat mereka harus dibesarkan di kerajaan yang berbeda, memastikan tidak ada kemungkinan pertemuan yang tidak disengaja. Yang lain menyarankan agar mereka dipisahkan secara simbolis, satu di dunia laki-laki dan yang lainnya di dunia perempuan, mencerminkan peran ilahi mereka.

Dipisahkan sejak lahir untuk mencegah ramalan kiamat, Sawerigading dan I Tenri Abeng tumbuh dalam dunia yang berbeda, masing-masing dibentuk oleh lingkungan dan takdir yang bertolak belakang.

Sawerigading menghabiskan masa kecilnya di sebuah kerajaan pesisir yang ramai dan penuh warna di dataran rendah Alekawa. Kehidupan di sana selalu penuh energi—pantai berpasir emas membentang panjang, dan ombak biru aqua mencium lembut bibir pantai. Pasar hiruk pikuk dipenuhi oleh pedagang, penjudi, dan penghibur yang menciptakan harmoni meriah dari suara dan warna. Dalam atmosfer ini, Sawerigading tumbuh menjadi pribadi ekstrovert yang ceria, terbiasa menjadi pusat perhatian dengan lelucon dan pesonanya yang memikat. rakyat mencintainya, dan teman-teman menghormatinya.

Sejak kecil, darah ilahi dalam tubuh Sawerigading memberinya kekuatan luar biasa. Ia mahir berenang, menguasai seni bela diri, dan menunjukkan kebolehan fisik lainnya, sering kali mengalahkan lawan-lawannya dengan mudah. Namun, kemampuan ini menumbuhkan kesombongan dalam dirinya. Dimanja oleh orang tua yang penuh kasih, Sawerigading menjadi sembrono, menggunakan kemampuannya untuk hiburan pribadi seperti berjudi dan adu ayam. Namun, di balik tawa dan keberanian itu, ada kerinduan yang tak dapat ia jelaskan, sebuah kehampaan yang terus menghantuinya.

Di sisi lain, I Tenri Abeng menjalani kehidupannya di kerajaan pegunungan Alekawa yang damai dan sakral, tinggi di antara awan dan pucuk pepohonan berusia ribuan tahun. Dikelilingi oleh hutan lebat dan sebuah danau suci yang luas, kerajaannya menjadi pusat spiritual yang dihuni oleh Pohon Kehidupan—sebuah kehadiran mistis yang diyakini menjaga kebijaksanaan dan keseimbangan alam semesta Alekawa. Dalam ketenangan ini, Tenri Abeng tumbuh menjadi sosok yang lembut dan introspektif. Hari-harinya diisi dengan melukis, memasak, serta mencipta seni lainnya, menemukan kedamaian dalam kesendiriannya. Keterhubungannya dengan alam memberinya kemampuan berbicara dengan hewan dan tumbuhan, membuat rakyat mencintainya sebagai pribadi spritual yang penuh kebijaksanaan dan kasih.

Namun, bahkan dalam keindahan kehidupannya, I Tenri Abeng merasakan kehampaan jua. Suatu hari yang penuh takdir, saat ia duduk di tepi danau suci, ia mendengar tangisan pilu seekor merak betina. Burung itu, dengan bulu yang berkilauan, terlihat lemah dan gelisah, seolah mencari pasangannya yang hilang. Tersentuh oleh kesedihan burung tersebut, I Tenri Abeng memutuskan untuk membantunya. Dipandu oleh kekuatan spiritualnya, ia mengikuti burung itu melewati jalan setapak yang berliku, menembus hutan lebat, hingga tiba di dataran rendah.

Di saat yang sama, Sawerigading baru saja memenangkan seekor merak jantan yang luar biasa indahnya dalam sayembara adu ayam. Burung itu, dengan bulu indah yang mencolok, segera menjadi kebanggaan Sawerigading. Namun, burung itu tampak gelisah, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang. Malam itu, burung tersebut melarikan diri, berlari melalui hutan untuk menemukan pasangannya.

Perjalanan I Tenri Abeng akhirnya membawanya ke pasar pesisir yang ramai di kerajaan Sawerigading. Hiruk-pikuk pasar yang penuh kebisingan dan kekacauan terasa asing baginya. Namun, di tengah semua itu, ia melihat merak jantan melintasi kerumunan, berjalan menuju pasangannya yang telah menunggu. Ketika kedua burung itu bersatu kembali, kebahagiaan mereka begitu nyata, menjadi simbol cinta yang mampu melampaui segala rintangan.

Di tengah keramaian pasar, Sawerigading melihat burungnya yang hilang dan mengejarnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat I Tenri Abeng. Ketenangannya yang penuh keanggunan tampak menciptakan aura magis di tengah hiruk-pikuk pasar. Sawerigading terpaku oleh keindahan dan kehadirannya yang memukau.

Begitu pula, I Tenri Abeng mendapati dirinya terpesona oleh sosok Sawerigading. Kekuatan dan karisma yang terpancar dari dirinya terasa asing, tetapi memikat. Mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah saudara kembar, tetapi ada ikatan yang tidak terlihat yang menghubungkan mereka—ikatan yang begitu kuat hingga menentang akal nalar.

Pertemuan ini adalah awal dari perjalanan yang akan menguji batas takdir, cinta, dan ramalan yang telah membentuk hidup mereka.

Ikatan antara Sawerigading dan I Tenri Abeng semakin kuat seiring berjalannya waktu, sebuah hubungan yang begitu dalam hingga melewati logika. Cinta mereka, yang dilarang oleh ramalan, membakar jiwa mereka dengan hasrat yang tak terelakkan. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk melawan takdir yang berusaha memisahkan mereka.

Diperkuat oleh garis keturunan ilahi mereka, keduanya mendeklarasikan cinta mereka ke langit, bersumpah untuk menentang ramalan dan menulis ulang nasib mereka sendiri. Namun, keberanian mereka membawa konsekuensi yang mengerikan. Alekawa, yang sebelumnya adalah dunia yang penuh keseimbangan dan harmoni, mulai runtuh. Langit menjadi gelap, badai ganas menyapu daratan tanpa ampun. Danau-danau suci mengering, meninggalkan tanah tandus yang hampa, sementara Pohon Kehidupan meranggas di bawah tekanan ketidakseimbangan yang tercipta.

Rakyat Alekawa jatuh ke dalam kekacauan; harmoni yang selama ini menjaga mereka berubah menjadi perselisihan dan pertikaian. Kekuasaan besar Sawerigading dan I Tenri Abeng, yang seharusnya melindungi dan membimbing dunia, kini menjadi pemicu kehancurannya. Kerajaan-kerajaan saling berperang, sungai-sungai meluap tanpa kendali, dan gempa bumi mengguncang fondasi Alekawa. Alekawa berubah menjadi neraka, sebuah dunia yang hampir hancur oleh kekuatannya sendiri, berada di ambang kehancuran total.

Di tengah kehancuran yang meluas, Sawerigading dan I Tenri Abeng mulai memahami dampak dari perlawanan mereka. Mereka menyaksikan pengorbanan dunia Alekawa—kehilangan nyawa-nyawa tak bersalah, kehancuran tanah yang mereka cintai, di Alekawa mereka lahir dan bertumbuh. Keruntuhan keseimbangan yang selama berabad-abad menjadi penopang Alekawa. Berdiri di antara puing-puing dunia mereka, keduanya menyadari bahwa cinta mereka, betapapun dalamnya, tidak dapat menanggung beban takdir.

Cinta mereka besar namun cinta pada Alekawa lebih besar, Sawerigading dan I Tenri Abeng memutuskan untuk berpisah. Masing-masing kembali ke wilayahnya sendiri, meninggalkan cinta mereka demi menyelamatkan dunia. Keputusan itu memulihkan keseimbangan Alekawa, memungkinkan tanah dan rakyatnya untuk sembuh perlahan. Meskipun terpisah, ikatan di antara mereka tetap tak terputus, menjadi saksi bisu.Cinta mereka menjadi bagian dari legenda, sebuah peringatan akan kekuatan takdir dan keberanian yang dibutuhkan untuk menghormatinya.

Dengan meninggalkan beban masa lalunya dan menyongsong takdirnya, Sawerigading berlayar melintasi lautan luas di Alekawa. Tujuannya adalah Kerajaan Cina, sebuah negeri yang jauh dan makmur, terkenal dengan kekayaannya serta kecantikan putri mahkotanya, I We Cudai. Bisikan rumor mengatakan bahwa I We Cudai memiliki paras yang sangat mirip dengan I Tenri Abeng namun tidak dengan perangainya, I We Cudai dikenal keras kepala dan manja—sifat yang telah membuat banyak pelamar mundur.

Perjalanan Sawerigading tidaklah mudah. Ia menghadapi badai yang mengancam untuk menenggelamkan kapalnya, monster laut yang mengintai di bawah ombak, dan armada saingan yang berusaha menghentikannya. Namun, keteguhan hati dan garis keturunan ilahi dalam dirinya membawanya terus maju. Saat ia mendekati pantai Kerajaan Cina, Sawerigading bersiap menghadapi tantangan terbesarnya: memenangkan hati I We Cudai.

Saat bertemu dengan sang putri, Sawerigading tertegun melihat kemiripannya dengan I Tenri Abeng. Namun, kepribadian I We Cudai sangat berbeda. Sang putri adalah sosok yang penuh semangat dan tak kenal kompromi, dengan kecerdasan tajam dan watak yang memerintah—kontras dengan ketenangan dan kelembutan I Tenri Abeng. Sawerigading, dengan pesona dan humornya, mencoba memenangkan hati sang putri.

Ia melakukan aksi-aksi berani, menceritakan kisah petualangannya, dan menunjukkan keahlian tak tertandingi dalam seni bela diri. Sedikit demi sedikit, lapisan dingin I We Cudai mulai mencair. Melalui ketekunan, keberanian, dan ketulusannya, Sawerigading membuktikan dirinya layak mendapatkan cintanya I We Cudai.

Persatuan mereka, meskipun penuh perjuangan, menjadi simbol babak baru dalam kehidupan Sawerigading. Ia menemukan cinta dan tujuan yang melampaui takdirnya, menciptakan ikatan yang menjanjikan kemakmuran dan keseimbangan antara kerajaan mereka.

Saat kisah Sawerigading dan I Tenri Abeng terungkap, keseimbangan Alekawa, Bottilangi’, dan Toddang Tojang menjadi nyata. Kehidupan mereka, meskipun terpisah, tetap saling terkait, dua bagian dari satu kesatuan.

Sawerigading, sang petualang dan penakluk, membawa kekuatan dan persatuan ke Dunia Tengah melalui aliansi dan keberanian luar biasanya. Pernikahannya dengan I We Cudai menjembatani dua kerajaan, memastikan Alekawa tetap berkembang meski menghadapi berbagai tantangan.

I Tenri Abeng, sang pemelihara dan penuntun, dengan perjuangan duniawi untuk naik ke Bottilangi’. Dari tempatnya di Botti’langi, ia memberkati Dunia Tengah, spiritual lembutnya terasa di setiap sudut Alekawa.

Pada akhirnya, ramalan yang pernah menjadi ancaman bagi mereka tidak terwujud sebagai kehancuran, melainkan sebagai keseimbangan. Semangat berapi-api Sawerigading dan ketenangan anggun I Tenri Abeng saling melengkapi, menciptakan harmoni antara alam. Bersama-sama, mereka membuktikan bahwa takdir bukanlah kutukan, melainkan peluang untuk merangkul peran yang diberikan oleh semesta.

Warisan mereka abadi. Kisah mereka yang diwariskan dari generasi ke generasi mengingatkan bahwa keseimbangan diperlukan untuk menjaga harmoni dan pengorbanan diperlukan untuk mencapainya.